A selfish path to be a better motherš·
For every mother or to-be who's sacrificed herself on the altar of good parenting. Also, for every adult child in us š¤
Halo teman2 š¤
Untuk kalian calon ibu, seorang ibu, atau suatu hari nanti envisioning untuk punya anak, atau bahkan seorang anak, hari ini aku mau share lesson yang bikin aku merasa āš¤¦āāļø how did I not think about this, despite me being an inner child coach, dan helping so many people healing themselvesā š
Dulu aku pikir memutus generational trauma itu pada saat kita parenting aja, atau kita healing diri supaya traumanya nggak kita teruskan ke anak.
Mungkin Relate: Sebagai Ibu ataupun Anak š·
When I learned to love myself, accept myself, and what I have⦠I no longer took my son's behaviour personally.
Dulu kadang kalo capek dan liat anakku numpahin sesuatu, nggak dengerin aku, atau intentionally ngelanggar peringatanku, I couldnāt help to think, "Why are you making it so difficult? Hidupku ini udah susah kok yo masih adaaa aja kayak gini".
Aku juga jadi ketakutan melakukan ini dan itu, karena khawatir anakku merasa nggak disayang dan aku meneruskan generational trauma. Instead of providing a beautiful childhood for my son, aku malah walking on eggshells, resenting myself, overwhelming and burning myself out. My relationship with my son was rocky for a couple years.
Relate?
Pertama: Menerima Diri š·
Sampe akhirnya aku belajar menyayangi diriku dan percaya bahwa aku selalu melakukan yang terbaik untuk dia, bahwa aku adalah ibu yang cukup, aku memberikan kualitas masa kecil terbaik untuk anakku dengan segala keterbatasannya.
Dengan demikian, aku bisa memeluk segala kesalahan anakku, keluhannya tentang dunia, tentang hal2 di sana sini, tanpa taking it personally dan mikir "oh I'm not a good mother". I show up as his mother. Not as someone whose feelings he has to take care.
As a mother, we donāt take care of all of our childrenās problems. But we guide them as they solve them. As a mother, we donāt put the burden to manage our emotions on them.
Ternyata satu shift bahwa "I'm enough" ini besar banget pengaruhnya.
Percaya bahwa weāre enough, not because we do something, but because we are us. Because weāre doing the best for our children and ourselves all the time. Even when itās hard, even when weāre struggling or fail at times. In those times when we canāt perform as well as we expect, we can be okay with that. We can give ourselves some grace. Because when we punish ourselves, weāre hating ourselves, weāre resenting our children for āmakingā us feel like this, resenting ourselves for making our children feel that way.
Satu shift itu, mengubah aku menjadi ibu yang jauh lebih baik. Yaitu ketika aku menerima diriku.
Kedua: Mengizinkan Mimpi š·
Hal yang sama terjadi ketika bicara tentang mimpi.
Aku pikir memutus rantai trauma ini adalah supaya anakku tidak mengalami hal yang sama seperti aku: Kesulitan keuangan, lelahnya pindah2 karir, ataupun kegagalan relationship after relationship.
Tapi aku sadar ini harus dimulai dari diriku dulu.
Apa artinya ini untuk kita orang tua atau aspiring parents?
Read this slow with me:
Memutus rantai trauma adalah dengan aku menerima semua yang aku alami, dan memperbaiki situasiku dulu.
Menerima dan memperbaiki bukan untuk memutus generational trauma for its own sake, bukan untuk anakku, tapi untuk diriku dulu.
Diriku dulu, hidupku dulu, nanti anakku akan ngikut.
Karena nggak cuma anakku yang berhak untuk hidup bahagia dan terpenuhi cinta dan materinya. Tapi juga aku. Aku dulu baru anakku.
Tanya dirimu lagiā¦
Kenapa aku harus menunggu hasil healingku sampai anakku dewasa? Kenapa aku tidak mengizinkan diriku melihat hasilnya di aku dulu?
Mendobrak generational trauma ini, mulainya bukan dengan anakku, tapi dengan diriku sendiri. Ibunya dulu. Nanti anaknya ikut.